Di tengah kemajuan pesat teknologi kecerdasan buatan (AI), banyak profesi mulai mengalami disrupsi. Otomasi menyusup ke berbagai aspek pekerjaan, termasuk dalam proses pengujian perangkat lunak (software testing). Namun, meskipun AI membawa banyak efisiensi dan kemampuan baru, posisi QA Engineer tetap relevan dan justru semakin krusial di era ini. Mengapa demikian?
AI Dapat Membantu, Tapi Tidak Menggantikan
AI memang dapat mempercepat berbagai proses pengujian, seperti:
- Menulis test case otomatis berdasarkan deskripsi user story.
- Mendeteksi pola bug atau anomali melalui log dan telemetry.
- Melakukan visual regression testing lebih cepat dan cerdas.
- Menyediakan insight melalui analisa big data hasil testing.
Namun, AI tetap membutuhkan pengawasan manusia. Misalnya:
- AI tidak memahami konteks bisnis secara mendalam.
- AI hanya sebaik data dan model yang digunakan.
- AI tidak bisa menggantikan pertimbangan etika, usability, dan empati pengguna.
Seorang QA Engineer memiliki domain knowledge, pemahaman alur pengguna, dan intuisi terhadap edge case yang tidak bisa diajarkan ke AI secara penuh.
QA Berperan sebagai “Guardian of Quality”
Dalam siklus pengembangan perangkat lunak modern (SDLC), QA bukan hanya eksekutor testing, melainkan berperan sebagai:
- Advisor: Memberi masukan sejak awal perencanaan fitur (shift-left testing).
- Preventor: Membantu tim mencegah bug sebelum terjadi, bukan hanya menemukan setelah muncul.
- Gatekeeper: Memastikan bahwa kualitas produk tidak dikorbankan demi kecepatan delivery.
Di era AI, produk semakin kompleks dan seringkali tidak deterministik (terutama pada aplikasi berbasis ML/AI). QA menjadi satu-satunya pihak yang mengawal trust dan transparansi sistem AI di mata pengguna.
QA Diperlukan untuk Menguji AI Itu Sendiri
Ironisnya, kehadiran AI justru menciptakan tantangan pengujian baru:
- Bagaimana Anda menguji hasil AI yang non-deterministik?
- Bagaimana mengukur bias, fairness, dan interpretabilitas algoritma?
- Bagaimana memvalidasi bahwa AI tidak menyebabkan keputusan yang salah atau diskriminatif?
Jawabannya: QA Engineer yang mengerti prinsip testing dan machine learning.
QA di era ini mulai menambahkan kemampuan seperti:
- Data validation dan data integrity testing.
- Model evaluation (akurasi, precision, recall).
- Testing berbasis skenario edge case terhadap output AI.
Kebutuhan Skill QA yang Berevolusi
QA di era AI bukan hanya soal “tes manual” vs “tes otomatis”. Ini soal evolusi:
Dulu | Sekarang |
---|---|
Manual Test Case | Intelligent Test Automation |
UI Testing | Model & Data Testing |
Fokus Bug Fix | Fokus Risk Mitigation & Business Impact |
Silo Tim QA | QA Terlibat sejak Ideation |
Skill penting QA modern mencakup:
- Automation testing (Playwright, Cypress, Jest, dsb).
- Prompt engineering dan pemanfaatan AI tools.
- Domain bisnis dan kemampuan analisa kritis.
Justru, QA Engineer Adalah Kunci Keberhasilan AI
Tanpa QA yang terlibat dalam pengujian model AI, sistem dapat:
- Menghasilkan keputusan berbahaya (contoh: sistem rekomendasi medis).
- Mengandung bias dan diskriminasi tanpa disadari.
- Menurunkan kepercayaan pengguna karena hasil yang tidak konsisten.
QA bukan hanya menjaga quality teknis, tapi juga integritas dan kepercayaan pada produk.
Kesimpulan
Di era AI, QA Engineer bukan profesi yang usang—justru semakin penting. Karena kualitas bukan hanya soal “berfungsi”, tetapi “berfungsi dengan benar, adil, dan dapat dipercaya”.
Dengan terus mengembangkan diri, memahami teknologi baru, dan berperan aktif dalam setiap fase pengembangan, QA Engineer akan tetap menjadi pilar penting dalam menciptakan produk digital yang berkualitas tinggi dan bertanggung jawab.